Sombong,
barangkali sama tuanya dengan peradaban manusia. Iblis dikutuk dan dikeluarkan
dari surga juga lantaran sombong. Ia menolak bersujud kepada Adam as, manusia
pertama, karena merasa dirinya lebih baik.
"Allah
berfirman: 'Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah
Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu
(merasa) termasuk orang-orang (yang) lebih tinggi?' Iblis berkata: 'Aku lebih
baik daripadanya, karena engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau
ciptakan dari tanah'." (Shaad: 75--76).
"Ana
khoirun minhu (saya lebih baik dari dia)," kata Iblis. Merasa diri lebih
baik dari pada yang lain itulah sombong. Dan akibat sombong, iblis dikutuk.
"Allah
berfirman: 'Maka keluarlah kamu dari surga, sesungguhnya kamu adalah
orang-orang yang terkutuk, sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai hari
pembalasan." (Shaad: 77--78).
Kita berlindung
kapada Allah dari perbuatan sombong, baik dalam bentuk sifat, sikap maupun
perilaku, karena ia dapat menjadi penghalang masuk jannah. Rasulullah saw
bersabda, "Tidak akan masuk jannah (surga) seseorang yang terdapat dalam
hatinya sifat sombong (kibr) meskipun hanya sebesar biji sawi." (HR Muslim).
Berhati-hatilah
kita, karena sifat, sikap, dan perilaku merasa lebih baik, lebih mulia bisa
menimpa siapa saja. Seorang tokoh yang memiliki pengikut banyak, reputasi yang
luas juga berpotensi untuk menyombongkan diri lantaran ketokohannya dan
pengikutnya yang banyak. Seorang yang memiliki tubuh kuat, atletis, jawara,
kadang tergoda memamerkan bentuk tubuhya, disamping tidak jarang gampang
terpancing perkelahian, dalam urusan kecil sekalipun, hanya lantaran merasa
dirinya pendekar. Seorang rupawan juga kadang tergoda untuk membanggakan
kecantikannya dan meremehkan yang tidak seganteng dan secantik dirinya, bahkan
sampai mencacat bentuk fisik orang lain. Seorang hartawan sering tergoda
membanggakan pakainnya yang bagus, kendaraannya yang mewah, rumahnya yang
mentereng dengan melihat sebelah mata pada kaum alit yang kumal, kotor, kolot
dan pinggiran. Seorang pejabat yang kebetulan pangkatnya lebih tinggi kadang
merasa lebih baik dari bawahannya. Presiden merasa lebih baik dari menteri,
jenderal merasa lebih baik dari kopral, direktur merasa lebih baik dari
karyawan dan seterusnya.
Rasa sombong
juga dapat menghinggapi ilmuwan. Ilmunya setinggi langit, titelnya profesor
doktor, hafal Alquran, dapat berbicara dalam banyak bahasa. Tetapi, ia tidak
sabar untuk menahan dirinya merasa lebih baik dari masyarakatnya. Seorang
bangsawan, karena merasa berasal dari keturunan yang mulia, aristokrat, darah
biru, kadang merasa tidak sepadan jika harus bersanding, bergaul dengan yang
bukan bangsawan.
Bahkan sifat
sombong juga dapat menimpa seorang ahli ibadah atau ulama. Sosok yang secara
kasat mata (dhahir) terlihat wara' (sangat hati-hati bersikap), zuhud
(sederhana), bertahajud setiap hari, berpuasa senin-kamis, sholat rawatibnya
tidak pernah tertinggal. Karena salatnya rajin sekali hingga jidatnya hitam.
Namun, ternyata ia tergoda untuk menganggap dirinya orang yang paling suci,
paling baik, paling takwa. Orang lain dianggap tidak ada apa-apanya dibanding
dia.
Kisah Abu Dzar
patut kiranya menjadi pelajaran. Suatu ketika beliau sedang marah kepada
seorang laki-laki sampai terucap, "Hai anak wanita hitam." Rasulullah
mendengar hal itu, kemudian bersabda, "Wahai Abu Dzar, tidak ada keutamaan
bagi kulit putih atas kulit hitam," (dalam riwayat lain ditambahkan,
"melainkan karena takwa"). Mendengar hal itu Abu Dzar sangat
menyesal hingga
meminta orang tadi untuk menginjak pipinya. (HR Imam Ahmad).
Allah SWT
berfirman : "Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena
sombong), dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri."
(QS, Luqman: 18).
Perihal sombong,
Rasulullah mendefinisikan dalam sebuah riwayat, "Kibr (sombong) adalah
menolak kebenaran dan meremehkan manusia." (HR Muslim). Dua kata kunci:
menolak kebenaran dan meremehkan manusia, itulah sombong. Ketika ada rasa ingin
menonjolkan dan membanggakan diri, ketika hati kita keras menerima nasihat
terlebih dari yang lebih yunior, ketika pendapat kita enggan untuk dibantah bahkan
tidak jarang dipertahankan dengan dalil yang dipaksakan, ketika kita
tersinggung tidak diberi ucapan salam terlebih dahulu, ketika kita berharap
tempat khusus dalam sebuah majlis, ketika kita tersinggung titel dan jabatan
yang dimiliki tidak disebut, maka jangan-jangan virus takabbur telah meracuni
diri kita.
Imam Ghozali
mengajari cara mawas diri agar tidak terjebak dalam sikap merasa lebih baik.
Ketika kita melihat seseorang yang belum dewasa, kita bisa berkata dalam hati:
"Anak ini belum pernah berbuat maksiat, sedangkan aku tak terbilang dosa
yang telah kulakukan, maka jelas anak ini lebih baik dariku." Ketika kita
melihat orang tua, "Orang ini telah beramal banyak sebelum aku berbuat
apa-apa, maka sudah semestinya ia lebih baik dariku." Ketika kita melihat
seorang 'alim, "Orang ini telah dianugerahi ilmu yang tiada kumiliki, ia
juga berjasa telah mengajarkan ilmunya. Mengapa aku masih juga memandang ia
bodoh, bukankah seharusnya aku bertanya atas yang perlu kuketahui?" Ketika
kita melihat orang bodoh, "Orang ini berbuat dosa karena kebodohannya,
sedangkan aku? Aku melakukannya dengan kesadaran bahwa hal itu maksiat. Betapa
besar tanggung jawabku kelak.
Lantas, atas
dasar apa kita membanggakan diri ? Bukankah dunia ini bersifat fana? Bukankah
kekayaan, pangkat, kecantikan, keturunan, pengikut, dan ilmu merupakan anugerah
Allah yang bersifat sementara dan ujian bagi setiap manusia? Perbedaan fisik
manusia tidak permanen dan ditujukan untuk menguji kesabaran dan akhlak
manusia. Semuanya dapat dicabut sewaktu-waktu jika Allah menghendaki. Ia pun
dapat merubahnya sekejab, si cantik dapat diubah-Nya menjadi si buruk rupa,
sang jagoan bisa menjadi si buta, si kaya dapat bangkrut seketika, sang pejabat
menjadi penghuni penjara, dan seterusnya.
Allah hanya melihat
ketakwaan seorang hamba. Bukan kekayaan, pangkat, fisik atau keturunan. Maka
sungguh rugi kalau masih ada anak manusia yang masih merasa ana khairun minhu
(saya lebih baik dari dia).
Sumber : Roni
Suarsa, di w
0 komentar:
Posting Komentar